Bung Karno Menaruh Kepedulian pada Islam Pemurnian
“Pertimbangkan sebentar ‘padang-pasir’ dan ‘wahabisme’ itu. Kita mengenal pencapaian terbesar Wahabisme: keaslian, keaslian udara padang-pasir, kembali kepada asal, kembali kepada Allah dan Nabi, kembali kepada Islam pada masa Muhammad! Kembali kepada keaslian, ketika Islam masih suci dari segala kotoran dan bid’ah. Buang jauh-jauh kekotoran dan bid’ah itu, jauhkan segala yang membawa kesyirikan!”
Demikianlah proklamator Sukarno menuliskan dalam bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi.” Tidak banyak yang tahu, Bung Karno pernah tertarik dengan ajaran pemurnian Islam yang beriringan dengan Kerajaan Saudi.
Minat ini muncul saat Bung Karno belajar Islam secara intens selama tahun 1930-an saat dipenjara di Sukamiskin, Bandung, dan kemudian di Ende, Kepulauan Flores. Di Ende, ia dipandu dari jauh oleh pendiri organisasi Persis, A. Hassan. Dari surat-suratnya, kita bisa memahami bahwa Bung Karno cenderung pada Islam yang lebih konseratif pada saat itu. Bahkan, ia pernah meminta untuk menerjemahkan biografi Abdulaziz bin Saud, raja Arab Saudi yang juga mendukung pemurnian yang diwahyukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab sejak abad ke-18.
Bung Karno meminta buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu alasan adalah untuk membantu perekonomian keluarganya. Namun, ada alasan lain. “Bagi saya, buku ini bukan hanya tentang usaha ekonomi, tetapi juga pengakuan, pengakuan. Itu mencitrakan Ibnu Saud dan Wahabisme dengan cara yang membara, membangkitkan elemen amal, tindakan seperti itu sehingga banyak kelompok ‘tafakur’ dan kelompok pengamat Husain dll. (kaum Syiah) akan kehilangan akal sepenuhnya,” tulis Bung Karno.
Dia berharap terjemahan tersebut juga dapat disebarluaskan ke masyarakat untuk membentuk kepribadian mereka. “Dan semoga buku ini, dibaca oleh banyak orang Indonesia, agar bisa mendapatkan inspirasi darinya. Sebab, sebenarnya buku ini penuh dengan inspirasi. Inspirasi bagi kita sebagai bangsa yang begitu gelap dan kelam hatinya.”
Namun, jauh sebelum itu, Bung Karno memang lebih dekat dengan gerakan pemurnian Islam. “Aku tidak pernah mendapatkan pendidikan agama yang terstruktur karena ayah tidak mendalaminya. Aku menemukan sendiri Islam pada usia 15 tahun, ketika aku bergabung dengan keluarga Pak Tjokro (HOS Tjokroaminoto). Bergabung dengan sebuah organisasi agama dan sosial bernama Muhammadiyah. Gedung pertemuan mereka berada di seberang rumah kami di Gang Paneleh. Sekali sebulan, dari jam delapan malam sampai tengah malam, seratus orang berdesak-desakan untuk mendengarkan pelajaran agama ini diikuti dengan sesi tanya jawab. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian,” katanya dalam “Penyambung Lidah Rakyat”, otobiografi yang ditulisnya bersama Cindy Adam.
Islam yang diajarkan oleh Pak Tjokro dapat kita pahami, sebagai agama yang rasional dan menekankan pada keadilan sosial. Sedangkan Muhammadiyah sejak lama merupakan penentang TBC alias Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat.
Tidak hanya dalam surat, beberapa praktik Wahabi juga dilakukan oleh keluarga Sukarno. Salah satu istri Sukarno, Fatmawati, menyatakan bahwa keluarga mereka tidak pernah melakukan ritual tradisional terkait kelahiran anak atau sejenisnya. Menurut Fatmawati, mereka hanya melakukan apa yang sesuai dengan Alquran, sunnah, dan ajaran para guru.
Meskipun banyak yang mengaitkan hal mistis dengan Bung Karno, namun dalam keterangannya sendiri, Bung Karno justru menegaskan bahwa ia menentang hal-hal mistis.