Seiring dengan perkembangan zaman, fenomena hustle culture semakin marak terjadi di kalangan generasi muda. Gaya hidup yang menekankan kerja keras terus menerus ini tak hanya menjadi prioritas, namun juga dianggap dapat merusak kesehatan fisik dan mental. Media sosial menjadi pemicu utama dalam memperkuat tren ini.
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Indrayanti, dalam sebuah riset yang dilakukan pada Januari 2023, menyoroti bagaimana postingan prestasi di media sosial memicu mekanisme perbandingan diri. Hal ini kemudian mengganggu keseimbangan antara dunia kerja dan kehidupan pribadi seseorang.
Hustle culture sendiri berkembang dari konsep workaholic atau budaya kerja berlebihan. Gaya ini menekankan pentingnya produktivitas dan terus mendorong individu untuk bekerja tanpa henti, bahkan sampai memunculkan perasaan bersalah ketika sedang tidak sibuk.
Dampak negatif dari hustle culture terhadap generasi muda sangat beragam. Mulai dari gangguan kesehatan mental dan fisik, timbulnya perasaan perbandingan sosial yang merugikan, hingga masalah kesejahteraan drastis. Para peneliti menemukan bahwa kebanyakan sisi negatif dari hustle culture jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya dalam jangka panjang.
Namun, ada juga generasi muda, terutama generasi Z, yang mulai menyadari dampak negatif dari hustle culture ini. Mereka lebih mengutamakan keseimbangan hidup dan kesejahteraan daripada kesuksesan instan. Perubahan paradigma ini menunjukkan bahwa kesehatan mental dan keselamatan jauh lebih berharga daripada segala pencapaian finansial.
Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya menolak tekanan untuk terus berada dalam pola pikir hustle culture sangat penting. Menjaga keseimbangan antara produktivitas dan waktu istirahat, serta terus mengejar kebahagiaan jangka panjang, menjadi langkah bijak untuk menciptakan sebuah hidup yang lebih sehat dan bermakna bagi generasi muda masa kini.