Maraknya penggunaan pinjaman online (pinjol) dan perjudian daring (judol) di kalangan generasi Milenial dan Gen Z telah menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan. Fenomena ini menunjukkan tren gaya hidup instan yang berisiko menjerumuskan anak muda pada jeratan utang dan ketergantungan perilaku konsumtif. Kombinasi antara pinjol dan judol tidak hanya berdampak pada kondisi finansial, tetapi juga mengancam kesehatan mental serta stabilitas sosial generasi penerus. Jika tidak diwaspadai, hal ini bisa merusak masa depan kaum muda.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa peminjam pinjol sebagian besar berasal dari kelompok usia 19-34 tahun, mencapai sekitar Rp27,1 triliun atau 54 persen dari total pinjaman fintech per Juli 2023. Kelompok ini juga menjadi penyumbang terbesar atas kredit macet di pinjol, yaitu 40 persen atau sekitar Rp782 miliar per bulan. Pinjol dikenal mengenakan bunga sangat tinggi bahkan mencapai 12-24 persen per bulan belum lagi denda keterlambatan yang menjerat peminjam dalam siklus utang tanpa akhir. Rata-rata banyak peminjam muda mengambil pinjaman yang melebihi pendapatan bulanan mereka; misalnya usia 20-34 tahun rata-rata meminjam Rp2,5 juta, sedangkan pendapatannya hanya sekitar Rp2 juta.
Intimidasi dari debt collector, plus gangguan keuangan seperti gagal bayar dan kondisi kredit macet, dapat memicu depresi, kecemasan, bahkan dalam kasus ekstrem mendorong peminjam melakukan bunuh diri. Judol menawarkan kemudahan akses sepanjang waktu, aplikasi privasi, dan interaktif faktor yang meningkatkan risiko kecanduan terutama di kalangan generasi muda. Menurut pakar, akibatnya bisa berkisar dari kerusakan finansial hingga gangguan kesehatan mental seperti isolasi sosial dan tekanan akademik. Anak muda sering terjebak oleh promosi judol dan pinjol karena rendahnya literasi keuangan, ditambah dengan perilaku impulsif dan gaya hidup konsumtif. Selain itu, banyak aplikasi ilegal menyalahgunakan data pribadi pengguna, menjualnya ke pihak ketiga atau rentenir digital.
Perbaikan regulasi dan pengawasan oleh OJK untuk lebih ketat memilah pinjol legal dan ilegal, serta memperkuat mekanisme penagihan agar bebas dari intimidasi. Meningkatkan literasi keuangan sejak pendidikan dasar hingga universitas, agar generasi muda mampu mengenali risiko keuangan dan mengatur anggaran secara bijak. Mengurangi eksposur judol dan pinjol di ranah digital melalui pengaturan iklan di media sosial dan Play Store, serta melibatkan Kominfo dan Satgas Waspada Investasi. Pinjol dan judol sebagai “duet maut” memanfaatkan kerentanan generasi muda melalui akses cepat, bersifat privat, serta bunga tinggi yang mendorong utang tak terkendali. Kombinasi keduanya menciptakan siklus berbahaya yang menjerat anak muda dalam tekanan finansial dan psikologis yang semakin berat. Risiko seperti utang menumpuk, gangguan mental, kecanduan, hingga pelanggaran privasi menjadikan fenomena ini sebagai ancaman sosial dan ekonomi yang serius. Solusi jangka panjang hanya bisa dicapai melalui edukasi finansial yang masif dan regulasi ketat, agar generasi muda Indonesia terhindar dari jeratan berbahaya tersebut.