Perhatian terhadap masalah pemanasan global semakin meningkat seiring dengan data yang menunjukkan peningkatan suhu rata-rata bumi. Perjanjian Paris menetapkan target agar suhu bumi tetap di bawah 1,5 derajat Celsius dari masa pra-industri untuk menghindari dampak bencana akibat perubahan iklim. Namun, tantangan dalam menjaga suhu ini tetap stabil terus terjadi, terutama karena emisi karbon dioksida yang terus meningkat. Di Indonesia, sektor logistik berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon nasional. Hal ini membuat manajemen rantai pasok yang berkelanjutan semakin penting untuk mengurangi emisi karbon dan menciptakan rantai pasok yang lebih efisien.
Meskipun manajemen rantai pasok hijau memerlukan investasi awal yang lebih besar, namun dalam jangka panjang, implementasi ini bisa memberikan penghematan signifikan melalui efisiensi energi dan pengurangan limbah operasional. Menariknya, studi kasus di Jawa Barat menunjukkan bahwa perusahaan yang beralih ke logistik hijau mampu menghemat biaya bahan bakar dan operasional gudang hingga Rp2,1 miliar per tahun. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam menerapkan manajemen rantai pasok berkelanjutan di Indonesia, seperti kurangnya dukungan regulasi dan infrastruktur yang masih terbatas.
Dengan semakin ketatnya regulasi global dan meningkatnya kesadaran konsumen terhadap lingkungan, penerapan manajemen rantai pasok hijau menjadi suatu keharusan bagi perusahaan. Investor pun mulai mengalihkan dananya ke perusahaan yang menerapkan prinsip environmental, social, and governance (ESG), yang dapat memberikan dampak positif bagi keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Adopsi pendekatan Lean and Green Supply Chain atau sistem transportasi logistik ramah lingkungan juga menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi biaya dan mengurangi emisi karbon dalam rantai pasok industri. Oleh karena itu, investasi dalam manajemen rantai pasok yang berkelanjutan menjadi pilihan yang cerdas untuk masa depan hijau yang berkelanjutan.
