Pelabuhan Patimban di Subang masih belum beroperasi untuk kapal kontainer karena belum dilengkapi dengan crane untuk bongkar muat kontainer dan jaraknya yang jauh dari kawasan industri. Hal ini membuat para pelaku industri enggan untuk beralih dari Pelabuhan Tanjung Priuk ke Pelabuhan Patimban. Bambang Haryo Soekartono, seorang Pengamat Transportasi dan Anggota Komisi VII DPR RI, menyoroti ketidakmampuan Pelabuhan Patimban dalam menerima kapal logistik pengangkut kontainer. Meskipun targetnya pada tahun 2023, Pelabuhan Patimban seharusnya sudah mampu menerima 3,5 juta teus per tahun.
Dengan biaya pembangunan sebesar Rp43,22 triliun, seharusnya Pelabuhan Patimban sudah dilengkapi dengan crane dan fasilitas lainnya. Sebagai perbandingan, Pelabuhan Kuala Tanjung Medan di Kawasan Industri Kuala Tanjung (KIKT) yang dibangun dengan investasi Rp4 triliun sudah mampu menerima 80.000 teus per tahun. Sementara Pelabuhan Makassar New Port, dengan biaya Rp5,4 triliun, mampu menampung 257.981 Teus per tahun.
Pelabuhan Patimban direncanakan akan dibangun dalam tiga tahap dengan target akhir mampu menampung 7,5 juta Teus. Namun, hingga saat ini belum ada satupun peti kemas yang ada di pelabuhan tersebut karena ketiadaan crane. Selain itu, jarak Pelabuhan Patimban yang jauh dari Kawasan Industri Subang Smartpolitan juga menjadi masalah, serta panjang dermaga yang tidak mencukupi untuk menampung kapal dengan muatan yang ditargetkan.
Kurangnya koneksi jalur logistik antara kawasan industri dengan pelabuhan atau bandara juga menjadi perhatian serius. Jarak yang jauh antara Kawasan Industri Subang Smartpolitan dengan Pelabuhan Patimban serta Pelabuhan Internasional Kertajati tidak mendukung integrasi yang diharapkan. Bambang Haryo menekankan bahwa skema pembangunan ini sudah salah sejak awal, dan pemerintah perlu lebih memperhatikan kajian pembangunan kawasan industri dan jalur transportasi ke depannya.