Pengerahan personel Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam membuntuti pejabat resmi Kejaksaan Agung (Kejagung) disebut melanggar konstitusi. Laksamana Muda Purn Soleman Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis – Tentara Nasional Indonesia (BAIS-TNI), menyatakan bahwa hal ini perlu diusut lebih lanjut di internal kepolisian antiterorisme.
Menurut Soleman, penguntitan terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah oleh Densus 88 dianggap sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Terorisme. Ia menambahkan bahwa tindakan tersebut keluar dari tugas pokok Densus 88 yang seharusnya fokus pada penanganan ancaman dan penindakan terorisme di dalam negeri.
Soleman juga mempertanyakan siapa yang memberikan perintah untuk misi pembuntutan terhadap Jampidsus tersebut. Ia menegaskan perlunya pengusutan terutama terkait dengan pemberi perintah dan peranannya dalam kasus yang sedang diusut oleh Jampidsus.
Pakar intelijen ini mengingatkan bahwa saat ini banyak perkara korupsi besar yang ditangani oleh Jampidsus, sehingga perlu diusut apakah pengerahan Densus 88 terkait dengan perkara korupsi tersebut. Soleman menekankan perlunya Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo memberikan sanksi tegas kepada anggota Densus 88 dan pemberi perintah dari internal kepolisian terkait dengan aksi penguntitan Jampidsus.
Sebelumnya, satu anggota Densus 88 ditangkap oleh TNI Polisi Militer karena melakukan penguntitan terhadap Jampidsus Febrie Adriansyah. Informasi dari Kejaksaan Agung menyebutkan bahwa enam anggota Densus 88 yang melakukan pembuntutan tersebut berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Kasus ini dianggap serius karena dapat mempengaruhi hubungan antara dua institusi penegak hukum, yaitu Kejagung dan Polri. Oleh karena itu, Soleman menekankan perlunya pengusutan lebih lanjut terkait dengan pengerahan Densus 88 dalam membuntuti pejabat resmi Kejagung.