Prabowo Subianto menulis dalam Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto, bahwa sebagian besar pemimpin yang kuat memiliki rasa idealisme yang mereka pegang teguh. Salah satu contoh yang diobservasi dan dihormati oleh Subianto adalah Saad El-Shazly, seorang tokoh Mesir yang terampil dalam memimpin pasukan dan memiliki idealisme yang kuat. Meskipun berselisih dengan pemerintah Mesir karena ketegasannya, Shazly tetap dihormati oleh orang-orang Mesir.
Saad El-Shazly lahir pada tahun 1922 di Kairo, Mesir. Ia adalah seorang perwira dan pemimpin pasukan elite Mesir dalam Perang Arab-Israel. Shazly berhasil menahan serangan musuh dan membawa kembali unitnya hampir utuh melintasi Terusan Suez, suatu prestasi yang sedikit pasukan Mesir lainnya berhasil capai saat itu.
Setelah Perang Enam Hari, Shazly menjadi Kepala Staf Angkatan Darat Mesir. Ia dipercaya untuk membangun kembali kekuatan tentara mereka dan merencanakan serangan ambisius untuk merebut kembali Semenanjung Sinai dari Israel. Setelah Perang Yom Kippur pada Oktober 1973, Shazly menulis buku berjudul The Crossing of the Suez, di mana ia memperlihatkan ketelitian perencanaannya dan pemikirannya yang cermat.
Namun, seperti yang sering terjadi, kesuksesan seorang komandan lapangan membuat elite politik khawatir. Setelah Perang Yom Kippur, El-Shazly berselisih dengan Presiden Anwar Al-Sadat, yang menyebabkan ia dibebaskan dari tugas komandonya dan dikirim ke Portugal sebagai Duta Besar.
Meskipun tidak populer dalam kepemimpinan politik, Shazly tetap merupakan legenda hidup bagi mayoritas rakyat Mesir. Bahkan saat kematiannya pada Februari 2016, hampir satu juta orang di Tahrir Square berkumpul untuk berdoa bagi sang Jenderal tercinta. Saat ini, Shazly dikenang di Mesir sebagai “Sang Jenderal Emas”.
Prabowo Subianto sangat merekomendasikan semua calon pimpinan militer untuk mempelajari karier Shazly dan membaca buku karyanya, The Crossing of the Suez.