Jakarta – Sidang kasus dugaan suap terkait vonis lepas perkara minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada Rabu, 17 September 2025, menghadirkan saksi Suratno di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Suratno, seorang advokat dan Bendahara Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama (NU) Kecamatan Kartasura, Jawa Tengah, bersaksi untuk terdakwa Djuyamto yang menjabat sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan dan Pembangunan MWC NU Kartasura. Dalam sidang, Suratno menjelaskan bahwa Djuyamto memintanya untuk menyusun 11 proposal untuk penggalangan dana pembangunan kantor terpadu.
Suratno kemudian pergi ke Jakarta untuk mengambil dana yang disiapkan oleh Djuyamto dan menerima dana tunai sebesar Rp2,5 miliar. Namun, setelah dihitung oleh panitia, terungkap bahwa jumlah uang tersebut kurang sekitar Rp97 juta. Tidak lama kemudian, Suratno kembali ke Jakarta untuk menerima uang senilai Rp3 miliar kurang Rp100 ribu. Seluruh dana yang diterima oleh Suratno dipergunakan untuk membeli tanah dan memulai pembangunan gedung NU.
Kasus ini melibatkan Djuyamto, bersama dua hakim anggota, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom, yang didakwa menerima suap untuk memberikan vonis lepas kepada tiga korporasi dalam perkara CPO. Sidang pembacaan dakwaan Djuyamto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 21 Agustus 2025, mengungkap bahwa terdakwa diduga menerima uang tunai sejumlah US$2,5 juta atau senilai Rp40 miliar bersama Muhammad Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan.
Jaksa penuntut umum menegaskan bahwa tindakan suap dilakukan oleh terdakwa bersama-sama untuk memengaruhi vonis dalam perkara CPO. Kasus ini terus berkembang dengan pengungkapan lebih lanjut dalam persidangan, yang menjadi sorotan publik atas praktik korupsi di dunia hukum yang harus diungkap dan ditindaklanjuti dengan tegas.