Saturday, July 12, 2025

Kita Hanyalah Tamu di Bumi yang Suci Ini

Share

Di balik megahnya punggung Gunung Tangkuban Parahu, setiap tahun ribuan jiwa berkumpul dalam upacara lintas budaya yang diberi nama Ngertakeun Bumi Lamba. Sejak pagi, kabut tipis menyelimuti kawasan, seolah bumi pun turut menyambut semangat suci para peserta yang mengenakan busana adat dari berbagai penjuru nusantara. Ngertakeun Bumi Lamba menjadi titik temu spiritual di mana perwakilan adat Sunda, Bali, Dayak, Minahasa, dan komunitas lain menyatukan hati untuk melestarikan warisan leluhur dan menjaga keseimbangan alam semesta.

Dalam rangkaian upacara, suara angklung, karinding dari Baduy, getar tabuhan Minahasa, dan genta Bali membaur tanpa sekat, menciptakan simfoni yang menembus batin peserta. Harmoni bunyi itu tidak hanya menghiasi telinga, tetapi juga meneguhkan pesan bahwa manusia, alam, dan leluhur tak pernah terpisah.

Makna mendalam Ngertakeun Bumi Lamba menghidupkan kembali rasa kebersamaan dan kepedulian yang telah lama menjadi inti budaya Sunda. Upacara yang digagas oleh Eyang Kanduruan Kartawinata sejak tahun 1964 ini. Prosesi diawali dengan penyucian diri (ngaremokeun), lalu doa bersama, dan berlanjut pada persembahan syukur di Kawah Ratu. Semua itu dilakukan sebagai manifestasi syukur atas kehidupan dan pengingat bahwa semua makhluk wajib berbagi peran memelihara alam.

Tokoh-tokoh nasional dan adat dari berbagai suku selalu hadir memberi apresiasi. Bapak Wiratno, misalnya, menegaskan pentingnya mewariskan keindahan nusantara kepada generasi berikutnya. Andy Utama dari Yayasan Paseban berulang kali mengingatkan, “Cinta kasih bukan hanya milik manusia, tapi juga tumbuh di segala bentuk kehidupan yang berdiam di dalam dan di atas bumi.”

Dalam penggalan sambutannya, Andy Utama menyeru agar kita selalu menebar kasih tanpa pernah menghitung balasan dari semesta, sebab penyesalan akan datang saat alam yang menuntut perhitungan dari manusia. Ia juga menganjurkan penghentian pertikaian, baik terhadap sesama maupun terhadap alam.

Bagian yang selalu menggugah dari Ngertakeun Bumi Lamba adalah pekikan suci para pemimpin adat. Mayjen Rido mengartikan ritual ini sebagai pengadilan batin untuk memperkuat kesadaran spiritual. Panglima Pangalangok Jilah dari Dayak mengingatkan bahwa alam tidak bergantung pada manusia, manusia lah yang sebenarnya bergantung pada alam. Pekik “Taariu!” tak hanya menandai semangat, namun juga janji yang diikrarkan di muka leluhur dan bumi semesta.

Pesan lainnya datang dari panglima Minahasa yang menekankan kewajiban menjaga gunung, sebagai warisan bagi anak cucu, dan membedakan adat dari budaya; melestarikan adat adalah caranya memaknai Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila dalam wujud nyata. Dody Baduy menyuarakan amanat singkat, “Gunung Teu Meunang Dilebur, Lebak Teu Meunang Dirusak”, mempertegas komitmen komunitas adat terhadap pelestarian lingkungan.

Semangat Ngertakeun Bumi Lamba tak berhenti seiring usainya ritual. Andy Utama dan para penggiatnya percaya, bahwa setiap orang yang hadir membawa pulang pancaran energi baru: tekad untuk menjaga tumbuhnya makna hidup dan kelestarian bumi di keseharian. Upacara ini bukanlah sekadar agenda tahunan, namun perjanjian abadi yang hidup di hati, menggemakan pesan leluhur agar cinta, rasa syukur, dan penghormatan kepada alam terus diwariskan dan dipraktikkan lintas generasi.

Arista Montana dan Yayasan Paseban mendarah dagingkan filosofi Ngertakeun Bumi Lamba pada kehidupan sehari-hari di Megamendung, lokasi yang termasuk dalam bentang ekosistem Gunung Gede Pangrango. Melalui aksi nyata seperti penanaman pohon, restorasi hutan, dan konservasi burung, mereka menumbuhkan cinta dalam tindakan. Lebih dari 15.000 pohon telah ditanam oleh Arista Montana bersama Yayasan Paseban sebagai bentuk pengabdian setelah mengikuti jejak ritual luhur tersebut.

Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam

Baca Lainnya

Semua Berita