Restorative justice (RJ) sebaiknya dipertimbangkan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM). Selain membutuhkan konsistensi dari aparat hukum, RJ juga perlu melibatkan peran pekerja sosial dalam prosesnya. Menurut Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Advokat Indonesia Jember, Gatot Irianto, RJ menekankan penyelesaian konflik dengan memperhatikan pemulihan korban, tersangka, dan masyarakat sekitar.
Tujuan utama dari RJ adalah memberikan pemulihan bagi korban dan memberikan kesempatan perbaikan bagi pelaku. Gatot berpendapat bahwa melibatkan pekerja sosial dalam proses RJ dapat memberikan analisis yang lebih mendalam serta menyediakan simulasi praktis yang beragam. Hal ini disampaikan dalam Acara Ngaji Hukum di Aula Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember.
Dalam implementasi RJ, hukuman pidana penjara dianggap sebagai langkah terakhir. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 18 KUHAP, mekanisme RJ melibatkan korban, keluarga korban, tersangka, keluarga tersangka, dan pihak terkait lainnya. Selain itu, menurut Suyatna, seorang dosen di Fakultas Hukum, keadilan restoratif telah ada sejak UU Sistem Peradilan Pidana diberlakukan. Tujuan akhir dari RJ adalah untuk mencegah pemidanaan dan memberikan manfaat bagi pelaku dan korban.
Meskipun demikian, tidak semua kasus dapat diselesaikan melalui RJ. Kasus-kasus seperti pembunuhan, korupsi, dan narkotika dikecualikan dari proses RJ. Suyatna menekankan bahwa kemampuan dan kesediaan dari pihak yang terlibat sangat penting dalam menjalankan RJ, dan inisiatif untuk menerapkan RJ sebaiknya datang dari semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.