Dalam dunia pendidikan yang semakin kompetitif dan serba visual, Model United Nations (MUN) memiliki makna yang cukup signifikan. MUN awalnya adalah simulasi sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengasah kemampuan diplomasi dan berpikir kritis. Namun, kini MUN telah menjadi simbol prestise dan ajang pembuktian diri bagi pelajar yang bercita-cita untuk masuk universitas top dunia.
Banyak siswa merasa tertekan untuk ikut MUN bukan hanya karena minat pada isu global, tapi juga karena FOMO (Fear of Missing Out). Hal ini dapat dipahami dari perspektif teori perilaku konsumen yang menyatakan bahwa keputusan seseorang dalam memilih sesuatu tidak hanya didasarkan pada fungsi fungsional, tapi juga oleh pengaruh sosial, simbolisme, dan pembangunan identitas.
Anak-anak muda mulai mengaitkan MUN dengan identitas sosial sebagai bagian dari kelompok elit dan berorientasi global. Mereka terlibat dalam MUN bukan hanya karena suka debat atau diplomasi, tapi juga karena dorongan sosial dan tekanan dari lingkungan sekitar. Akibatnya, MUN bukan lagi sekadar ajang eksplorasi minat, melainkan ajang untuk menunjukkan status dan ambisi.
Meskipun aktif di MUN memiliki nilai positif dan dapat memperkaya portofolio pelajar, penting untuk mempertanyakan motivasi di balik partisipasi tersebut. Keikutsertaan di MUN seharusnya dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman akan kebutuhan diri, bukan semata karena tekanan sosial. Bahkan, banyak cara lain untuk menunjukkan nilai dan kemampuan dalam dunia pendidikan, bukan hanya melalui MUN.
Sebelum ikut MUN hanya untuk mengikuti tren, penting untuk merenung tentang motivasi yang sebenarnya. Apakah benar-benar ingin mendalami isu global, menikmati proses, atau hanya mengincar pengakuan semata? Jika memang penuh gairah, maka go for it. Namun, jika tidak, tidak ada yang salah. Kualitas seseorang tidak hanya diukur dari partisipasi di MUN, tapi dari kejujuran dan kesetiaan pada diri sendiri.
