Wednesday, December 11, 2024

Ombudsman Temukan Lahan Sawit Tumpang Tindih, Kerugian Negara Rp 279 Triliun

Share


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Status lahan perkebunan sawit yang tidak jelas akibat tumpang tindih dengan kawasan hutan telah mengganggu keberlangsungan usaha perkebunan kelapa sawit. Ombudsman RI mendorong pemerintah melakukan afirmasi status kepemilikan lahan untuk mendukung kebijakan perkebunan sawit berkelanjutan.

“Ombudsman RI menemukan adanya ketidakpastian layanan dalam tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan dan tidak adanya kepastian penyelesaian inventarisasi SK Datin terhadap lahan perkebunan sawit,” kata anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam penyampaian hasil kajian sistemik di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan pada Senin (18/11/2024).

SK Datin merupakan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memuat data dan informasi kegiatan usaha di kawasan hutan tanpa perizinan bidang perkebunan. Ombudsman RI menemukan luasan irisan overlay tumpang tindih lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan mencapai 3.222.350 hektare, dengan subjek hukum 3.235.

Subjek hukum terdiri dari 2.172 perusahaan kelapa sawit dan 1.063 koperasi/poktan (sawit rakyat). Konflik status kepemilikan lahan antara perkebunan kelapa sawit dan kawasan hutan mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi petani dan perusahaan. Sejauh ini, perkembangan penyelesaian tumpang tindih lahan telah diselesaikan melalui mekanisme Pasal 110A Undang Undang Cipta Kerja.

Sejumlah 115 subjek hukum yang terdiri dari 83 unit atau sekitar 336.539 hektare dengan surat keputusan (SK) penetapan batas pelepasan kawasan hutan, dan 32 unit atau sekitar 96.174 hektare telah keluar SK pelepasan kawasan hutan. Adapun, proses penyelesaian melalui mekanisme Pasal 110B UU Cipta Kerja telah dilakukan.

Sebanyak 53 subjek hukum telah diberikan denda administratif. Sedangkan 25 subjek hukum telah membayar dan 28 subjek hukum belum membayar. Selain itu, perkembangan penyelesaian untuk perkebunan sawit rakyat yang dilakukan melalui skema PP Nomor 24 Tahun 2021 adalah 31 subjek hukum dengan telah diterbitkan SK Persetujuan Perhutanan Sosial dengan luas 11.067 hektare.

Ombudsman menyebut, penyelesaian tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan bisa dilakukan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan HAT dan pengakuan hukum lainnya. Pemerintah perlu melakukan perbaikan tata kelola industri kelapa sawit pada aspek lahan melalui dua hal.

Pertama, pengakuan hak atas tanah yang telah sah diterbitkan oleh kementerian yang membidangi urusan agraria dan pertanahan. Kedua, percepatan penyelesaian tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan sekaligus melakukan pengukuhan kawasan hutan. 

Sedangkan, pada aspek tata niaga, Ombudsman RI menemukan potensi malaadministrasi berupa ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor palm oil mill effluent (POME). Yeka mengatakan, masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antarkementerian yang mengkibatkan tumpang tindih aturan.

Tata kelola industri kelapa sawit yang saat ini tidak cukup baik berpotensi tersebut menimbulkan kerugian ekonomis. Ombudsman RI menyebut potensi kerugian meliputi aspek lahan Rp 74,1 triliun per tahun, aspek peremajaan sawit terkendala Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan PSR Rp 111,6 triliun per tahun, dan aspek kualitas bibit yang tidak sesuai Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) Rp 81,9 triliun per tahun.

Kemudian, aspek kehilangan yield akibat grading tidak sesuai standar kematangan TBS Rp 11,5 triliun per tahun). “Jadi, total potensi nilai kerugian dalam tata kelola industri kelapa sawit sekitar Rp 279,1 triliun per tahun,” kata Yeka.


Source link

Baca Lainnya

Semua Berita