Sidoarjo (beritajatim.com) – Sidang kasus dugaan pemotongan dana insentif ASN BPPD Sidoarjo di Pengadilan Tipikor Surabaya, masuk tahap keterangan saksi ahli. Dalam sidang lanjutan itu, pemberi mandat disebut yang paling bersalah dalam kasus tersebut.
Hal itu ditegaskan saksi ahli terdakwa Siskawati ahli hukum administrasi negara Dr. Aan Efendi SH.MH yang juga dosen di Universitas Negeri Jember, Senin (26/8/24).
Dr. Efendi menjelaskan bahwa yang paling bertanggung jawab dalam mandat atau delegasi dari atasan adalah kepala, karena menurutnya, kepala adalah pemilik wewenang, bawahan adalah mandataris wewenang. “Maka pemilik wewenang bertanggung jawab, kecuali pembawa mandat melebihi apa yang di mandatkan,” ucap Efendi di persidangan.
Dia menambahkan, pemotongan insentif tidak mungkin bisa dilakukan bawahan jika tidak ada mandat dari kepala badan, pemotongan insentif bisa berhenti atas persetujuan kepala badan.
Sementara itu saksi ahli terdakwa Ari Suryono ahli hukum pidana Dr. Bambang Suharyadi SH. MH dari Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, yang perlu dijelaskan dalam persidangan adalah apakah ada unsur paksaan, siapa yang memaksa, dan apakah pegawai yang dipotong insentifnya merasa diintimidasi atau tidak.
“Kalau tidak ada unsur paksaan dan yang dipotong tidak keberatan apalagi ketakutan atau ada intimidasi kalau menolak atau tidak mau dipotong, selama tidak ada paksaan, tidak apa-apa,” ungkapnya.
Sementara berdasarkan fakta persidangan dari saksi pegawai BPPD yang dihadirkan JPU KPK tidak ada satupun yang menyatakan ada unsur paksaan, mereka menerima karena semua dikenakan pemotongan.
Sementara itu, Penasehat Hukum terdakwa Siskawati Erlan Jaya Putra mengatakan dari keterangan ahli menunjukkan bahwa yang paling bersalah dalam kasus pemotongan insentif ASN BPPD adalah kepala badan.
“Siskawati ini sebagai pegawai yang insentifnya juga dipotong, dan pegawai yang juga hanya menjalankan perintah oleh kepala badan. Disini sudah jelas bahwa tanggung jawab hukum ada pada Ari Suryono,” pungkasnya. (isa/kun)