Tuesday, September 10, 2024

Kisruh UU Pilkada, Pakar Hukum Tata Negara: DPR Lakukan Pembangkangan Konstitusi

Share

Surabaya (beritajatim.com) – Menurut Prof. Dr. Hesti Armiwulan S.,S.H.,M.Hum, seorang Dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya), tindakan DPR yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pencalonan kepala daerah merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.

Sebagai seorang ahli hukum tata negara, Prof. Dr. Hesti mengungkapkan bahwa MK adalah sebuah lembaga negara yang memiliki kedudukan dan wewenang yang diatur oleh Undang-Undang Dasar (UUD). MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang sesuai dengan UUD.

Menurut Prof. Dr. Hesti, putusan MK adalah penegakan UUD RI tahun 1945 sebagai hukum tertinggi di negara ini.

Ia juga menekankan bahwa seluruh lembaga negara harus patuh pada putusan MK, karena MK adalah badan peradilan tertinggi dan putusannya bersifat final.

Prof. Dr. Hesti menyatakan, “DPR seharusnya patuh dan melaksanakan putusan MK, bukan malah menafsirkan putusan MK tersebut secara berbeda. Namun, DPR justru mencoba untuk menunjukkan kekuasaannya yang melebihi konstitusi dengan mengubah Undang-Undang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.” Hal ini diungkapkan pada Kamis (22/8/2024).

Dalam ranah hukum atau yang dikenal sebagai rule of law, tindakan anggota DPR tersebut bukanlah prinsip negara hukum, melainkan menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan.

Prof. Dr. Hesti menambahkan, “Dengan mengubah UU pemilihan gubernur, walikota, bupati tanpa mematuhi putusan MK, DPR sebenarnya melakukan pelanggaran terhadap konstitusi yang disebut sebagai inkonstitusionalisme.”

Prof. Dr. Hesti juga menekankan bahwa masyarakat harus mengetahui bahwa MK mengeluarkan dua putusan, yaitu putusan nomor 60/PUU tahun 2024 dan putusan nomor 70/PUU tahun 2024.

Berdasarkan putusan tersebut, Prof. Dr. Hesti menegaskan bahwa pencalonan gubernur, bupati, dan walikota seharusnya tidak hanya terbuka bagi partai politik yang memiliki kursi 20% di DPRD, tetapi juga bagi calon perseorangan.

Putusan nomor 70 berkaitan dengan usia minimal calon Gubernur dan wakil Gubernur.

Prof. Dr. Hesti juga mengkritisi sikap Presiden yang dinilainya inkonsisten terkait putusan MK. Beliau menekankan bahwa keputusan MK harus dihormati dan dipatuhi oleh semua pihak, tanpa memandang kepentingan politik sementara.

Menurut Prof. Dr. Hesti, masyarakat harus menyadari bahwa dalam situasi seperti ini, mereka harus menolak undang-undang yang tidak mematuhi putusan MK, sebagai bentuk keberpihakan pada prinsip hukum dan konstitusi.

Prof. Dr. Hesti menyoroti peran KPU dalam situasi ini dan menekankan bahwa jika KPU tetap patuh pada putusan MK, maka undang-undang yang dibuat oleh DPR menjadi tidak efektif. Ia juga menyatakan bahwa jika KPU tidak melaksanakan amanah konstitusi, maka itu merupakan tindakan pembangkangan terhadap konstitusi.

Prof. Dr. Hesti juga menegaskan bahwa jika DPR tetap mengesahkan undang-undang yang tidak sesuai dengan syarat formil dan materiil, maka pihaknya akan mengajukan permohonan pembatalan undang-undang tersebut ke MK.

Akhirnya, Prof. Dr. Hesti menyimpulkan bahwa saatnya bagi masyarakat untuk menyadari pentingnya menjaga keberpihakan pada hukum dan konstitusi dalam kehidupan bernegara. Ia menegaskan bahwa reformasi adalah langkah yang harus diambil untuk menegakkan prinsip hukum dan konstitusi.

Source link

Baca Lainnya

Semua Berita